Penyesalan akan datang kemudian. Ini pasti. Tidak mungkin dong kita
menyesal sebelum berbuat sesuatu. Penyesalan akan datang saat kita
menyadari kalau ternyata apa yang kita lakukan tidak menghasilkan apa
yang diharapkan. Kita mau lulus ujian tetapi kita ternyata tidak lulus.
Muncullah penyesalan atas apa yang telah kita lakukan, yang menjadikan
kita tidak lulus. “Seandainya saya waktu itu tidak melakukan hal seperti
itu, mungkin ceritanya menjadi lain” demikian kesimpulan yang biasanya
dibuat oleh mereka yang sedang menyesali perbuatannya. Namun semua sudah
terjadi. Sekarang akhirnya begini. Yang ada tinggal penyesalan. Saya
yakin kebanyakan dari kita pernah mengalami perasaan seperti itu.
Saya pernah didatangi seorang mahasiswa yang tidak mengikuti ujian
semester sehingga terpaksa tidak saya luluskan. Setelah saya tanya
mengapa tidak mengikiuti ujian, dijawab bahwa ia saat itu ketiduran. Wah
sederhana sekali alasannya? Walaupun ini alasan yang seharusnya tidak
terjadi dan sangat bodoh untuk terjadi, tetapi kasus mahasiswa tidak
ikut ujian karena ketiduran bukan pertama kali saya temui. Sudah
beberapa kasus sejenis sebelumnya. Setelah saya pelajari mereka yang
sampai “ketiduran” di saat seharusnya ada kewajiban yang lebih penting,
ternyata yang menjadi penyebabnya adalah mereka terhanyut oleh suatu
kebiasaan yang ia sendiri susah sekali untuk menghentikannya. Ada yang
karena sambil belajar kemudian tidak tahan membuka internet dan chating
sampai pagi. “Maunya sih belajar, tetapi kalau sudah chating kok susah
ya dihentikan?” demikian mungkin mereka heran pada diri sendiri. Ada
juga yang karena terlibat diskusi yang tidak berhasil mereka hentikan.
Besok akan ujian matematika tetapi malamnya terlibat diskusi dengan
teman kos tentang politik, yang semakin malam semakin seru sehingga
tidak terasa badan menjadi capai dan akhirnya tertidur. Lupa alarm belum
disetel. Bangun-bangun sudah jam 8. Padahal ujiannya jam 7. “Uh…masalah
sepele, tetapi akibatnya kok jadi begini!” demikian mahasiswa tersebut
menyesal.
Karyawan perusahaan klien saya suatu pagi datang dengan wajah kusam.
Ia kurang tidur. Katanya semalam sampai pagi. Tidur hanya dua jam. Apa
yang ia kerjakan? Ternyata ia suka membuka situs-situs tertentu di
internet, yang kalau sudah sekali membuka susah sekali di hentikan.
Akhirnya di kantor ia sudah tidak ada tenaga lagi. Padahal hari itu
terdapat meeting penting. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh karena
kurang tidur. Dalam rapat tersebut ia sempat tertidur. Pimpinan
perusahaan marah besar. “Ini rapat yang sangat penting, menyangkut hidup
matinya perusahaan kita, tega-teganya Anda tidur!” demikian pimpinan
perusahaan tersebut marah besar. Meeting langsung dihentikan. “Saya
tersinggung luar biasa, saya tidak mengerti. Tega-teganya dia sampai
tidur dalam meeting sepenting ini!” dengan nada kesal pimpinan
perusahaan tersebut menumpahkan emosinya pada orang-orang yang ada di
sekitarnya. Karyawan tersebut menyesal luar biasa. “Duh…hanya karena
situs-situs tersebut saya jadi begini”
Masih banyak contoh penyesalan seseorang yang diakibatkan mereka
terhanyut pada suatu aktivitas tertentu yang ia sadari bahwa seharusnya
bisa dihentikan untuk mengerjakan pekerjaan lain yang lebih penting.
Namun mereka tidak berhasil menghentikannya. Mereka seperti terbawa arus
sungai yang deras dan tidak sanggup untuk menyelamatkan diri. Mereka
tidak sanggup berkata “TIDAK” pada diri sendiri. Akibatnya adalah
penyesalan di kemudian hari.
Saya jadi teringat kata-kata motivasi bahwa “Kalau kita lembut pada
diri kita sendiri, dunia akan keras pada kita. Kalau kita keras pada
diri sendiri, maka dunia akan lembut kepada kita”. Nah, kegagalan kita
untuk “SAY NO” pada diri sendiri membuktikan kebenaran kata-kata
motivasi tersebut. Sekarang bagaimana kita bisa berhasil “SAY NO?”
Kebanyakan dari kita mengetahui kebiasaan buruk kita sendiri. Mungkin
kita malu menyampaikan kebiasaan buruk tersebut kepada orang lain.
Tetapi kalau mengatakan kepada diri sendiri tidak perlu malu kan? Nah,
langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mencoba jujur kepada diri
sendiri untuk mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan buruk yang
jelas-jelas merugikan kita. Tidak perlu menyampaikan kepada orang lain.
Sampaikan saja kepada diri sendiri. Ini pun bukan suatu hal yang mudah.
Butuh keberanian! Kita harus bisa keras pada diri sendiri.
Setelah kita mengidentifikasi kebiasaan buruk yang harus kita
hentikan segera, langkah berikutnya adalah “hentikan saja”. Tidak usah
mencari-cari alasan. Hentikan saja dulu, alasannya bisa kemudian. Kalau
kita memiliki kebiasaan chating yang memakan waktu lama, ya hentikan dulu. Sedang chating
langsung hentikan saja. Now! Sekarang juga. Kalau kita punya kebiasaan
buruk membuka situs-situs tertentu – maaf situs porno misalnya – yang
biasanya menghabiskan waktu berjam-jam bahkan bisa mengalahkan pekerjaan
penting lainnya, langsung saja HENTIKAN! Kalau Anda punya kebiasaan
merokok sambil melamun yang tidak jelas arahnya kemana, juga HENTIKAN
saat ini juga! Tidak mudah dong…tidak semudah itu….ini kan hiburan….kita
bukan mesin..kita juga manusia..punya rasa, punya nafsu, punya
klangenan (bahasa jawa yang berarti kesukaan yang sudah mencandu)….tidak
mudah dong menghentikannya begitu saja. Saya katakan TEGAS SAJA. “STOP
NOW!”. Walau sejenak, kita hentikan dulu.
Setelah kita berhasil hentikan, walaupun beberapa saat saja, tegaskan
pada diri sendiri sampai berapa lama kita akan sanggup berhenti.
Idealnya memang langsung menghentikannya tanpa alasan apapun. Namun me-manage manusia
harus dengan cara-cara manusiawi juga. Langkah ke dua tadi adalah
langkah untuk membuktikan bahwa kita bisa menghentikannya. Bisa “Say NO”
walaupun hanya beberapa saat saja. Tetapi itu prestasi luar biasa. Anda
sudah berhasil memerintah diri sendiri. Ini yang lebih penting. Anda
berhasil memerintah diri sendiri! Nah di langkah ke tiga ini anda
tentukan “Target”, berapa lama kita akan dalam posisi berhenti. Posisi
NO. Katakanlah satu jam. Ya sudah, hari ini Anda berhasil berhenti satu
jam! Kok gak langsung tegaskan saja BERHENTI forever? Kalau bisa
silakan. Tetapi sekali lagi saya tegaskan di sini kita perlu mengatasi
masalah-masalah kita secara manusiawi karena kita manusia. Jadi, sebagai
langkah awal, katakanlah kita hentikan chating kita dalam satu jam. Apa yang harus kita lakukan dalam satu jam “gencatan senjata” tersebut?
Dalam satu jam “break” tersebut lakukan pekerjaan-pekerjaan yang sangat
penting dan tidak bisa ditunda. Dalam satu jam tersebut posisikan diri
kita sebagai seorang profesional, yang dalam satu jam harus mengerjakan
sesuatu sesuai target. “I’m a professional!” demikian yakinkan
kepada diri sendiri. Jadikan satu jam tersebut momen yang membanggakan
karena kita berhasil mengerjakan sesuatu yang sangat berarti dalam waktu
yang sangat terbatas. Setelah satu jam berlalu dan kita berhasil
mengerjakan sesuatu yang membanggakan, apa lagi yang harus kita lakukan?
Kembali chating lagi? Kembali ngobrol lagi? Kembali buka situs “itu”
lagi? Ha…ini jawaban yang mungkin mengejutkan Anda. Iya, boleh saja!
Boleh kembali melakukan kebiasaan buruk lagi? Yang bener saja!
Nah…sudah saya bilang, saya ingin memperlakukan manusia sebagai manusia.
Dari pada ber pura-pura mengapa tidak kita kelola saja dengan
profesioal. Tadi kita kan dalam satu jam sudah berhasil menjadi seorang
profesional, yang dalam waktu tertentu harus mencapai target. Sekarang
kita juga bisa profesional dong…dalam waktu tertentu kita bisa kembali
melakukan kebiasaan yang sudah kita sadari akan merugikan kita, tetapi
waktunya juga dibatasi. Saya hanya akan chating lagi dalam 30 menit ke
depan. Ayo kita profesional di sini. 30 menit ya 30 menit. Perintah diri
sendiri agar membatasi 30 menit saja. Setelah 30 menit? Ya berhenti.
Kan profesional? Kita harus kembali mengerjakan proyek kita berikutnya.
Tentunya proyek yang membikin kita bangga pada diri sendiri. Bagi
seorang mahasiswa, proyek berikutnya bisa mengerjakan tugas, atau
membaca bab-bab buku tertentu yang wajib dibaca, atau bahkan bisa saja
menyeletika baju. Bagi seorang karyawan, proyek berikutnya bisa membaca
buku bermanfaat, membaca koran hari ini yang belum sempat dibaca, atau
menyelesaikan pekerjaan penting yang tertunda.
Cara-cara ini memang nampaknya model main paksa saja, tidak ilmiah.
Tidak ada aktivitas “ilmiah” seperti mengidentifikasi aspek positif dan
aspek negatif dari kebiasaan kita, kemudian memprediksi akibat yang
dapat ditimbulkan, membuat daftar tindakan negatif, membuat daftar
tidakan positif, analisa alternatif pemecahan masalah, dan…..aktivitas
yang ‘nampaknya’ ilmiah lainnya. Saya katakan disini bahwa saya sedang
mengajak Anda unuk berani berkata TIDAK, untuk tidak terhanyut oleh
kebiasaan yang tidak menguntungkan! Saya mau result! Hasil!
Dengan cara yang sederhana tetapi efektif. Analisa ini dan itu baik
sekali kalau Anda lakukan juga. Kalau Anda berhasil merumuskan dengan
sistematik permasalahan Anda dan alternatif pemecahannya itu akan lebih
baik lagi. Tetapi karena saya ingin Anda berhasil segera, maka yang
saya tegaskan disini adalah Anda harus berani berkata “TIDAK” pada diri
sendiri. Dare to say NO!
*) Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program
Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga
Direktur AP Consulting, yang memberikan jasa konsultasi bisnis dan
training di bidang personal and organizational development. Alumni
UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke Amerika dan
Australia, di University of Central Arkansas dan University of
Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di
berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di
Ohio State University, Kent State University, Harvard University, dan
University of London. Kolumnis di pembelajar.com dan juga penulis buku “The Art of Controlling People”. Website: www.praptapa.coml Email: praptapa@yahoo.com. (sumber:www.pembelajar.com)
Anda menginginkan sesuatu tetapi belum terwujud? Saya yakin banyak dari kita mengalami hal ini. Banyak dari kita menginginkan sesuatu tetapi belum juga didapatkan. Mari kita telusuri mengapa apa yang kita inginkan belum juga kita dapatkan? Tentunya banyak sekali alasan. Tetapi coba kita amati dengan cermat. Ternyata hampir semua yang kita inginkan tersebut belum juga kita dapatkan karena kita hanya “ingin”, tetapi tidak pernah bertindak sama sekali untuk mendapatkan yang kita mau. Think only, talk only, but NO ACTION! Mengapa penyakit NO ACTION ini hinggap dibanyak orang? Mari kita telusuri satu persatu.
Terdapat beberapa alasan mengapa orang memilih “no action”. Alasan pertama adalah karena mereka tidak bisa melihat pentingnya dan kemendesakan dari apa yang kita inginkan tersebut. Tidak ada sense of urgency. Kalau realitanya apa yang kita inginkan tersebut memang tidak penting, tidak apa-apa kalau hal tersebut tidak terlaksana. Toh hanya sesuatu yang tidak penting. It’s still all right. Tetapi masalahnya banyak hal yang sebetulnya penting (urgent) tetapi kita tidak menyadari kalau hal tersebut adalah penting. Pada kondisi ini sudah muncul adanya aspek kerugian (atau mungkin kecerobohan, bahkan kebodohan), karena kita tidak berhasil menempatkan sesuatu yang “urgent” pada posisi “urgent” pula.
Alasan kedua mengapa orang memilih “no action” adalah aspek kemalasan. Disini orang sudah menyadari bahwa apa yang mereka inginkan tersebut sebetulnya adalah penting, tetapi mereka tetap memilih tidak melakukan “action” karena alasan sederhana, yaitu malas. Kemalasan ini sering dimanipulasi dengan alasan “mendahulukan yang lain yang lebih penting”. Padahal yang sebetulnya terjadi adalah kita memilih untuk “menunda” hal yang penting tersebut karena hati kecil kita memang memilih “no action”. Mengapa demikian? Karena malas.
Takut pada kegagalan juga merupakan alasan mengapa orang “no action”. Mereka takut pada rintangan dan tantangan. Mereka berasumsi bahwa dari pada menghadapi kesulitan dan gagal menghadapi rintangan dan tantangan yang ada di depan lebih baik tidak bertindak. Jadi mereka kalah sebelum berperang!
Alasan keempat mengapa orang “no action” adalah karena dalam perhitungannya hal tersebut lebih mulia dari pada melakukan “action”. Hal ini terutama pada saat seseorang akan melakukan hal-hal yang bersifat negatif, seperti mencuri, menyakiti, dan berbuat kejahatan. Di sini manfaat dari “no action” dipandang lebih besar dibanding dengan akibat yang akan muncul apabila kita melakukan “action” pada hal tersebut. Pada kondisi seperti inilah “no action” tepat untuk dilakukan.
Jadi bisa dikatakan bahwa kebanyakan orang tidak segera melakukan “action” karena kurang cerdas, karena malas, dan karena kalah sebelum bertanding. Kalau alasan kurang cerdas tidak bisa kita salahkan karena hal tersebut sudah dari sananya begitu (given), kemudian alasan malas merupakan pilihan yang merupakan hak seseorang untuk mendapatkan kenikmatan dalam bentuk lain, maka kalah sebelum bertanding merupakan alasan yang patut disayangkan dan bahkan harus dilawan. Kalah sebelum bertanding merupakan musuh utama bagi keberhasilan di bidang apa saja. Banyak sekali kegagalan yang ternyata disebabkan karena belum mencoba ataupun berhenti mencoba. Belum mencoba sudah bilang tidak bisa. Sudah mencoba, begitu ada rintangan dan tantangan kemudian berhenti mencoba.
Untuk itulah maka para leluhur yang arif dan bijak di tanah jawa selalu menegaskan untuk “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”, yang berarti “lawan semua rintangan dan taklukkan semua halangan”. Petuah tersebut sebenarnya adalah untuk menegaskan kepada kita bahwa rintangan dan halangan merupakan sesuatu yang natural, yang pasti ada, dimanapun, kapanpun. Untuk itu maka kita harus pandai-pandai menempatkan diri pada saat kita melihat dan mengalami adanya rintangan dan halangan. Lawanlah rintangan, taklukkan halangan!
Melawan rintangan dan menaklukkan halangan bukanlah sekedar kata-kata motivasi. Pada kondisi tertentu hal ini wajib dilakukan, yaitu pada saat kita melakukan sesuatu yang luhur yang sangat penting bagi kehidupan kita. Seorang mahasiswa yang berjuang untuk lulus sarjana demi masa depannya dan juga demi kehormatan keluarganya harus menempatkan rawe-rawe rantas malang-malang putung sebagai sesuatu yang wajib. Apalagi kalau mahasiswa tersebut telah berhasil menerjemahkan dengan cerdas arti kesarjanaan bagi hidupnya, bagi keluarganya, masyarakat, dan bangsanya. Kesarjanaan bukanlah urusan pribadi karena menyangkut keluarga, bangsa dan negara. Kesarjanaan berarti menambah SDM cerdas di negeri ini, yang membantu pengentasan kemiskinan, yang membangkitkan optimisme keluarga atas masa depan anak-anaknya. Seorang sarjana akan mampu membangun negeri dengan kepandaian dan ketrampilannya sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang siap bersaing, yang akhirnya bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Kalau mahasiswa telah berhasil menerjemahkan arti kesarjanaan menjadi hal mulia seperti itu maka rawe-rawe rantas malang-malang putung hukumnya wajib. Gilas semua hambatan dan tantangan, dan jadilah pemenang!
Rawe-rawe rantang malang-malang putung adalah wajib saat kita melawan kebatilan dan kejahatan. Kebatilan dan kejahatan akan terang-terangan memberikan rintangan, halangan, dan bahkan perlawanan kepada kebaikan. Kalau sudah begini, tidak ada pilihan lain. Harus rawe-rawe rantas malang-malang putung. Di sini kita harus menempatkan diri pada point of no return, titik dimana kita tidak boleh mundur ataupun berbalik arah. Apapun alasannya, kita harus ACTION, lawan rintangan, taklukan halangan, menangkan pertempuran!
Pesan penting dari rawe-rawe rantas malang-malang putung adalah kita jangan ragu-ragu untuk melakukan ACTION. Satu action akan memberikan kekuatan pada action lain. The more you make actions, the more you make another actions, and the more you get results. Inilah yang disebut dengan the power of action. Rintangan dan halangan tidak mungkin kita hindari. Akan selalu ada kapan pun dan dimana pun. Maka hadapilah. Do action, rawe-rawe rantas malang-malang putung! Lawan rintangan, taklukan halangan, dan menangkan pertempuran!
* Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga sebagai konsultan dan trainer profesional di bidang personal and organizational development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan University of Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di berbagai universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio State University, Kent State University, Harvard University, dan University of London. Agung Praptapa juga seorang entrepreneur, Direktur AP Consulting. Alumni writer schoolen dan trainer schoolen. Website: www.praptapa.com; Email: praptapa@yahoo.com. (sumber :www.pembelajar.com)
Label:
action,
motivasi diri,
renungan,
the power of action